Wednesday, 30 November 2011

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE


BAB I

Konsep Dasar Penyakit Diare

1.        Pengertian
Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta banyaknya (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi (feces cair)”. (Suzanne dan brenda G Bare, 2002 : 1093)
Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebih yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi, Rita Yuliani, 2001 : 83).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa diare adalah defekasi yang abnormal dengan konsistensi feces encer dan cair.

2.        Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna ( Rosa M. Sacharin, 1994 : 440)
a.    Anatomi
Mulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan. Mulut dibatasi pada kedua pipi yang dibentuk oleh muskolus basiratorius atapnya adalah palatum yang memisahkan dari hidung dan bagian atas dan faring, lidah membentuk bagian terbesar dari mulut.
1)   Lidah
Lidah menempati kavum oris dan melekat secara langsung pada epiglotis dalam paring.
2)   Gigi
Manusia dilengkapi dengan dua set gigi yang tampak pada masa kehidupan yang berbeda-beda. Set pertama adalah gigi primer atau susu. Set kedua atau set permanen menggunakan gigi primer mulai tumbuh pada sekitar umur 6 tahun.
3)   Esofagus
Esofagus merupakan tuba otot. Berukuran 8-10 cm dari kartilago krikoid sampai bagian kardia lambung panjang berganda selama 3 tahun setelah kelahiran sesudahnya kecepatan pertumbuhan lebih lambat hingga mencapai panjang dewasa yaitu 23-30 cm.
4)   Lambung
Kapasitas lambung adalah antara 30-35 ml saat lahir dan meningkat sekitar 75 ml pada minggu kedua, pada akhir bulan pertama sekitar 10 ml dengan terjadinya perkembangan bayi, lambung berkembang sehingga mempunyai seluruh gambaran dari lambung dewasa.
5)   Usus kecil
Usus kecil dibagi lagi menjadi deudenum, jejenum, ileum. Panjangnya saat lahir sekitar 300 sampai 350 cc meningkat sekitar 50 persen selama tahun pertama kehidupan. Dinding usus dibagi menjadi beberapa lapisan mukosa, sub mukosa, muskuler dan serosa (peritoneal).



6)   Usus Besar
Usus besar berjalan dari katup ileosaekal ke anus. Dibagi dalam lima bagian : Caekum, kolon asenden, kolon transversum dan kolon desenden serta kolon sigmoid.
7)   Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia luar. Terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 spingter yaitu spingter ani internus, spingter levator dan spingter ani ekstemus.

b.    Fisiologi
1)   Mulut
Fungsi saliva terutama adalah mekanis, membantu menelan,  membantu berbicara, dan juga mempunyai aksi antiseptik.
2)   Lambung
Fungsi utama dari lambung adalah menyiapkan makanan untuk pencernaan usus, pemecahannya penambahan makanan cairan pada makanan ketika direduksi menjadi konsistensi setengah cair dan meneruskannya ke duodenum.
3)   Usus kecil
Mensekresikan cairan alkali yang kaya mukus, yang  melindungi absorbsi.
4)   Usus besar
Fungsi dari usus besar yaitu mensekresikan mukus yang mempermudah jalannya feces dan mengeluarkan fraksi zat yang tidak terserap.
5)   Anus
Anus berfungsi untuk mengeluarkan feces.


1.                     Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberpa faktor
a.    Faktor Infeksi
1)   Bakteri
2)   Virus
3)   Jamur, candida enteritis.
4)   Parasit, giardia clambia, crytoporidium
5)   Protozoa
b.    Bukan faktor infeksi
1)   Alergi makanan, susu, protein.
2)   Gangguan metabolik
3)   Iritasi langsung pada saluran pencernaan oleh makanan.
4)   Obat-obatan, antibiotik.
5)   Penyakit usus, colitis okeratif, enterocolitis
6)   Emosional atau stress.
7)   Obstruksi
Penyakit infeksi, otitis media, infeksi saluran nafas atas, saluran kemih
2.    Patofisiologi



Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal akibat syok hipovolemik dan kelainan elektrolit.
Tahapan dehidrasi :
a.       Dehidrasi ringan : berat badan menurun 3%-5% dengan volume cairan yang hilang kurang dari 50 ml/kg
b.      Dehidrasi sedang : berat badan menurun 6%-9% dengan volume cairan yang hilang 50-90 ml/kg
c.       Dehidrasi berat : berat badan menurun lebih dari 10% dengan volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kg.
1.    Manifestasi Klinik
Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair mungkin disertai lendir dan darah.
2.    Penatalaksanaan
a.    Medik
Dasar pengobatan diare adalah :
1)   Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan derajat dehidrasi dan keadaan umum.
a)    Cairan per oral
b)   Cairan parenteral                    
2)   Obat-obatan
a)    Obat anti sekresi
b)   Obat spasmolitik dan lain-lain.
c)    Anti biotik
b.    Keperawatan
Masalah pasien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko terjadinya komplikasi gangguan rasa nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
BAB II
PENUTUP


Diare adalah peningkatan keenceran dan frekuensi tinja. Diare dapat terjadi akibat adanya zat terlarut yang tidak dapat diserap didalam tinja, yang disebut diare osmotik, atau karena iritasi saluran cerna. Penyebab tersering iritasi adalah infeksi virus atau bakteri diusu halus distal/usus besar.
Iritasi usus oleh suatu patogen mempengaruhi lapisan mukosa usus, sehingga terjadi peningkatan produk-produk sekretorik, termasuk mukus. Iritasi oleh mikroba juga mempengaruhi lapisan otot sehingga terjadi peningkatan motilitas. Peningkatan motilitas menyebabkan banyak air dan elekrolit terbuang karena waktu tersedia untuk penyerapan zat-zat tersebut di kolon berkurang. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal akibat syok hipovolemik dan kelainan elektrolit. Toksin kolera yang dikeluarkan oleh bakteri kolera adalah contoh dari bahan yang sangat merangsang motalitas dan secara langsung menyebabkan sekresi air dan elektrolit kedalam usus besar, sehingga unsur-unsur plasma yang penting ini terbuang dalam jumlah besar.
Diare dapat disebabkan oleh faktor psikologis, misalnya ketakutan/jenis-jenis stress tertentu yang diperantarai oleh stimulasi oleh saraf parasimpatis.





DAFTAR PUSTAKA


Elizabeth J. Corwin. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC, 2000.
Mr. Ja Kim. Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC, 1994.


LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM INFEKSI TROPIK AKIBAT DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER DI RUANG PERAWATAN IX RUMAH SAKIT DUSTIRA CIMAHI


A.   Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (betina). DHF terutama menyerang anak remaja dan dewasa dan seringkali menyebabkan kematian bagi penderita.

B.   Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya premeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi tenggorokan dalam hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali) dan pembesaran limpa (splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Oleh karena itu pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi. Rumus perhitungan yang digunakan adaalah sebagai berikut :


Keterangan:.
A = Ht tertinggi selamad irawat
B = Ht saat pulang
C = Prosentasehematokrit

Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup. penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada-otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh alat tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal. Hati umumnya membesar dengan perlemakan dan koagulasi nekrosis pada daerah sentral atau parasentral lobulus hati.
(klik gambar untuk memperbesar)

C.   Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13-15 hari. Penderita biasanya mengalami demam akut (suhu meningkat tiba-tiba), sering disertai menggigil, saat demam pasien kompos mentis.
Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan pada saat demam dan tak jarang pula dijumpai saat penderita mulai bebas dari demam. Perdarahan yang terjadi dapat berupa :
Ø  Perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis, hematom) serta
Ø  Perdarahan lain seperto epitaksis, hematemesis, hematuri dan melena.

Selain demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DHF, gambaran klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah :
Ø  Keluhan pada saluran pernapasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan
Ø  Keluhan pada saluran pencernaan ; mual, muntah, tak napsu makan (anoreksia), diare, konstipasi
Ø  Keluhan sistem tubuh yang lain ; nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi (break bone fever), nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada seluruh tubuh, kemerahan pada kulit, kemerahan (flushing) pada muka, pembengkakan sekitar mata sakit bila disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal.

Pada penderita DHF sering juga dijumpai pembesaran hati (hepatomegali), limpa (splenomegali) dan kelenjar getah bening yang akan kembali normal pada masa penyembuhan.
Pada penderita yang (terutama tampak pada ujung-ujung jari dan bibir), kulit teraba lembab dan dingin, tekanan darah menurun (hipotensi), nadi cepat dan lemah.

Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
1.     Demam Chikungunya
Yang menonjol dari penyakit ini adalah timbulnya nyeri sendi dan oto. Suhu lebih sering diatas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva.
2.     Demam Tipoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfostosis relatif.
3.     Anemia aplastik
Penderita tampak anemik, demam karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.

Purpura trombositpenia indiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
Gambaran klinis kemungkinan akan terjadinya renjatan (hari ke-3 sampai ke-7)
1.     Perubahan sensorik dan nyeri perut
2.     Perdarahan nyata selain perdarahan kulit
3.     Terdapatnya efusi pleura atau asites
4.     Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
5.     Trombosit kurang dari 50 000/mikroliter
6.     Hiponatremia dengan Na urin <10 mmol/L
7.     EKG abnormal
8.     Hipotensi

D.    Diagnosis
Patokan WHO (1975) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
1.     Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2.     Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji turniket positif dan salah satu bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, spitaksis, perdarahan gusi), hematesis dan atau melena.
3.     Pembesaran hati
4.     Renjatan yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun (tekanan sitolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolik 20 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
E.    Kalasikasi DHF
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi : (WHO, 1986)
Derajat I :
-           Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan.
-           Uji torniquet (+), trombositopenia dan hemokonsentrasi.

Derajat II :
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau di tempat lain.

Derajat III :
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari (tanda-tanda dini renjatan).

Derajat IV :
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.



DAFTAR PUSTAKA


Arief Mansjoer, dkk, Kapita Selekta Kedoktean, Jilid I, Edisi 3, Media Aesculapeus, FKUI, 2001.

Depkes RI.. Menggerakan Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue. Jakarta. 1995

Doenges, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasia Perawatan Pasien,, Edisi 3, EGC, 2000

Noer, S. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi 3, Balai Pustaka FKUI, Jakarta, 1996.

Suriadi, Rita Yuliani, Asuhan Keperawatan Pada Anak

Tocher, MS, dkk. Standar Keperawatan Pasien, Jakarta : EGC, 2000.


LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ASTHMA BRONCHIALE


A.        KONSEP DASAR

a.         Pengertian

Asthma adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi jalan nafas yang hilang secar spontan atau yang disebabkan oleh adanya spasme otot lunak,bronchial, scresi mukus yang berlebihan dan oedena yang berlebihan.
Asthma Bronchial adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang ditandai dengan meningkatnya respons trachea dan bronchi oleh berbagai rangsangan.
Asthma Bronchiae adalah suatu kondisi dimana bronchus sangat responsif terhadap stimulus dan bersifat reversibel.
Obstruksi jalan napas pada dasarnya ditentukan dengan suatu keseimbangan antara mekanisme fisiologi yang menstimuli kontriksi otot lunak dan yang mendorong relaksasi otot-otot lunak.
Kenaikan resistensi aliran udara pada batang traceobranchial yang terjadi pada asthma sebagai akibat spasme otot lunak. Ganguan resistensi tidak didistribusikan ke paru-paru yang mana menyebabkan penurunan PaO2 dan oksigen serta kenaikan FRC. FRC adalah kapasitas residu fungsional atau banyaknya udara yang tertinggal.
Karena kesulitan dalam mengeluarkan semua udara selama ekspirasi, paru-paru secara progresif menjadi hiperinflasi dan udara terjebak terhadap adanya sumbatan mukus udara ini direabsobsi oleh darah dan atelektasi berkembang.
(klik gambar untuk memperbesar)



 Penerapan kesehatan terhadap klien ISPA dibeberapa tempat masih bervariasi. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dalam memberikan  perawatan secara optimal. Salah satunya perawatan pada pasien dengan Ashma Bronchiale.
           

b.         Etiologi

            Ashma bronchiale adalah suatu ISPA yang disetuskan oleh beberapa faktor diantaranya oleh tekanan emosi, kerja fisik, alergi terhadap sesuatu, virus, bakteri, dll. Ashma bronchiale dapat terbentuk oleh faktor :
-          Ekstrinsik/alergi
-          Intrinsik / non alergi
-          Campuran
            Faktor ekstrinsik bisa terjadi karena inhalan yang masuk ke dalam tubuh melalui alat pernafasan (makanan, obat obatan, serpihan binatang dll.), sedangkan intrinsik disebabkan karena adanya peradangan. Faktor Campuran terjadi dari faktor ekstrinsk dan intrinsik.

c.         Patofisiologi

            Pada ashma bronchiale apabila dalam keadaan emosi atau kerja fisik yang berat tubuh memerlukan asupan oksigen yang lebih sehingga untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen, fungsi pernafasan harus bekerja dengan maximal, sehingga klien terjadi stress dan nafas terengah-engah karena ada gangguan pada system pernafasan.

B.                 KONSEP DASAR KEPERAWATAN

   Serangan Asthma dapat terjadi secara progresif dalam beberapa hari atau secara tiba-tiba .
Tanda-tanda serangan adalah adanya peningkatan dyspnoe dengan ekspirasi panjang dan batuk, wheezing sering terjadi pada saat inspirasi dan ekspirasi. Wheezing yang terjadi pada jalan nafas besar di sebabkan adanya desakan udara melalui suatu jalan yang sempit dalam tekanan yang cukup untuk menghasilkan vibrasi udara yang menimbulkan bunyi. Gejala lain adalah :
1.                   Pola nafas dispnoe
2.                   Batuk dengan sputum yang banyak.
3.                   Retaksi otot-otot strenal.
4.                   Retaksi otot-otot perut.
5.                   Ekspirasi memanjang.
6.                   Wheezing, Ranchi.
7.                   Kulit dingin, pucat dan cyanosis
8.                   Pasien tampak cemas, ketakutan, gelisah karena sesak.
9.                   Tanyakan kapan mulai serangan terjadi ? Apa penyebab serangan terjadi ?
10.               Apakah pernah mengalami serangan yang sama ? kapan terakhir ?.
11.               Riwayat penyakit dalam keluarga
12.               Riwayat alergi dan ISPA
13.               Analisa gas darah.
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep di terapkan dalam praktik keperawatan. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang sequensial dan berhubungan : pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Iyer et ah, 1996). Tujuan proses keperawatan adalah untuk membuat suatu kerangka konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, kekuarga dan masyarakat dapat terpenuhi.

1.         Pengkajian
            Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (iyer et ah 1996)
      Pengumpulan Data (Pulta) :
1.       Tipe Data
Ada 2 tipe pada pengkajian
i  Data Subyektif
Adalah data yang di dapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian.
i  Data obyektif
Adalah data yang dapat diobservasi dan di ukur (iyer et ah 1996). Contoh dat obyektif : frekuensi pernafasan, tekanan darah, edema dan berat badan.

2.       Karakteristik Data
Pengumpulan data klien memiliki karakteristik : lengkap, akurat, nyata, dan relevan.

Sumber Data
1.       Klien
2.       Orang terdekat
3.       Catatan Klien
4.       Riwayat Penyakit
5.       Konsultasi
6.       Hasil Pemeriksaan Diagnostik
7.       Catatn Medis dan Anggota tim kesehatan lainnya
8.       Perawat lain
9.       Kepustakaan

Diagnosa Keperawatan
Dari analisa dan hasil pengkajian di dapatkan masalah-masalah yang menyimpang sehingga dapat di diagnosa sebagai berikut :
a.        Pernapasan tidak efektif.
b.       Perubahan pola istirahat tidur
c.        Intoleransi aktivitas
d.       Resiko terhadap penatalaksanaan program terapeutik infeksi

2.          Perencanaan dan pelaksanaan.
  Selama serangan atsma rencana perawatan di fokuskan pada upaya untuk membebaskan spasme bronchiale, mengencerkan sekresiyang kental, mengurangi hypoxia, arterial, mencegah infeksi, mengurangi rasa takut, memberi rasa nyaman.
1.       Mengurangi resistensi jalan nafas
Agent simpatometik seperti ephinerpin yang membuat aktifitas beta 2 adrenergik dan beta 2 diberikan secara subkutan atau dengan aeresol dosis sampai 0,1 sampai 0,5 ml. Therapi ini menyebabkan relaksi otot halus atau vaso kontriksi dalam selaput lendir bronchial, mengurangi kongesti, edema dan resistensi nafas.
2.       Membebaskan Spasme Bronchial
Bronchodilatator diberikan untuk mengurangi dan mencegah broncho kontriksi. Macam-macam obat bronchodilataor seperti iso proteronol, epedrin, Metaproteranol, Isoe tharin.
3.       Mengurangi edema pada selaput lendir Bronchial
Klorstikosteroid misalnya kortisan (hydro kortisan) solumenadrol diberikan secara intra vena. 
4.       Mempertahankan hidrasi.
Pemasangan infus dapat berguna untuk memasukan obat serta dapat memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi karena klien mempunyai kecenderungan untuk hyperventilasi dan sebagai akibatnya terjadi kehilangan cairan.
5.       Mengurangi Hipoxemia Arterial
Therapi oksigen di berikan ntuk mencukupi kebutuhan oksigen pada paru.
6.       Mencegah Infeksi.
     Untuk mencegah infeksi di berikan anti biotik.
7.       Mengurangi rasa takut, dan memenuhi kebutuhan istirahat dan rasa nyaman
Klien diupayakan tetap nyaman dengan memberikan posisi flower atau semi flower, selama klien masih dalam perawatan, keluarga kliean juga diperhatikan, di berikan dorongan emosionaldan di beritahu tentang perkembangan klien.
Perawat harus memberikan dorongan ketenangan dan menenangkan sitiasi, pakaian basah segera di ganti.
8.       Memperhatikan keseimbangan nutrisi
Keseimbangan nutrisi di cukupi dengan pemberian makan dengan porsi kecil dan sering.
Makanan dalam porsi besar dihindari karena dapat meningkatkan distensi abdomen yang menyebabkan bernafas lebih sulit.
9.       Evaluasi
Evaluasi dilakukan dan diarahkan kepada / terhadap pencapaian tujuan dan efektifitas tindakan yang dilakukan.

3.         Evaluasi
Adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi
Untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
Proses evaluasi
Proses evaluasi terdiri dari dua tahap :
1.       Mengukur pencapaian klien.
2.       Membandingkan data yang sudah terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan.
  

DAFTAR PUSTAKA



1.                  Arief Mansjoer, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius : FKUI,  Jakarta.

2.                  Haznams Kompedium, 1992, Diagnostik dan Terapi Ilmu Pengetahuan, WB Haznams : Bandung.

3.                  Marylin E Dongoes, 1992, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Tiga, FKUI, Jakarta : EGC.

4.                  FKPP, 1996, Perawatan Pasien V-A, Bandung.

5.                  Price Sylvia Anderson, dkk., 1995,  Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi Empat, Jakarta : EGC.

Monday, 14 November 2011

Demam Tifoid dan Penatalaksanaannya

Klik Langsung Pada Gambar untuk Memperbesar!!














































































Search This Blog

Pesan penulis